Perjumpaan Democracy dan Shuracracy (2) – Demokrasi dan Shuracracy, dua sistem pemerintahan yang pada permukaannya tampak berbeda, namun menyimpan kerentanan dan potensi untuk saling melengkapi. Demokrasi, dengan prinsip penentuan nasib rakyat melalui pemungutan suara, menekankan pada hak dan kebebasan individu. Sementara Shuracracy, yang mengacu pada sistem pemerintahan melalui musyawarah dan pertimbangan kolektif, mengutamakan kesepakatan dan kebajikan bersama.
Artikel ini mengkaji secara mendalam perjumpaan antara kedua sistem ini, mengidentifikasi kesamaan, perbedaan, serta peluang dan tantangan yang muncul dari perpaduan mereka. Melalui analisis komprehensif, artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana demokrasi dan Shuracracy dapat berinteraksi dalam bentuk yang konstruktif, menuju sistem pemerintahan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
1. Asal Usul dan Filosofi: Dua Sistem, Dua Perspektif
Untuk memahami perjumpaan demokrasi dan Shuracracy, penting untuk mengkaji asal usul dan filosofi di balik masing-masing sistem. Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani “demos” (rakyat) dan “kratos” (pemerintahan), secara sederhana berarti pemerintahan rakyat.
Ide ini telah berkembang sejak zaman klasik, dipromosikan oleh filsuf-filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles, dalam bukunya Politics, menekankan pentingnya partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan untuk memastikan keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat.
Shuracracy, di sisi lain, memiliki akar dalam tradisi Islam. Kata “Shura” dalam bahasa Arab berarti musyawarah atau pertimbangan bersama. Prinsip ini diinsinyur dalam Al-Quran dan hadits sebagai dasar utama dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat individual maupun kolektif.
Dalam surat Al-Shura ayat 38, Allah SWT berfirman: “Maka, tatapi akan mengambil keputusan itu dengan (musyawarah) shura di antara kalian”.
Sejalan dengan Al-Quran, para sahabat Nabi Muhammad SAW juga mengutamakan musyawarah dalam berbagai urusan pemerintahan dan kehidupan sehari-hari.
Meskipun keduanya menekankan peran kolektif dalam pengambilan keputusan, demokrasi dan Shuracracy memiliki perbedaan signifikan. Demokrasi modern cenderung berfokus pada pemungutan suara, di mana setiap warga negara memiliki hak untuk memilih wakil mereka.
Shuracracy lebih menekankan pada proses musyawarah yang intens dan komprehensif, melibatkan pertimbangan berbagai perspektif dan kaidah-kaidah moral dan agama.
2. Praktik Demokrasi dan Shuracracy dalam Pemerintahan
Penerapan demokrasi dan Shuracracy dalam pemerintahan memiliki berbagai bentuk dan pola.
Demokrasi Konstitusional
Demokrasi konstitusional adalah sistem yang menggabungkan prinsip-prinsip demokrasi dengan aturan ketat berdasarkan konstitusi. Dalam sistem ini, warga negara memilih wakil mereka melalui pemilu yang bebas dan adil.
Pemimpin yang dipilih bertanggung jawab kepada rakyat dan dapat dicopot dari jabatan melalui proses pemilu berikutnya. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Indonesia, dan India menerapkan sistem demokrasi konstitusional.
Shura dalam Negara Islam
Dalam negara-negara Islam, penerapan Shura dalam pemerintahan telah beragam. Beberapa negara menerapkan sistem parlemen yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu, namun dengan elemen Shura, di mana Majelis Permusyawaratan atau Dewan Syariah berperan dalam mengkaji dan memberikan nasihat terkait kebijakan publik.
Negara-negara seperti Iran dan Malaysia adalah contoh penerapan Shura dalam sistem pemerintahan mereka.
Tantangan Penerapan Sistem Ideal
Tantangan signifikan dalam penerapan sistem ideal, baik demokrasi maupun Shuracracy, adalah menjaga keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme.
Demokrasi memiliki risiko tergerus oleh kepentingan kelompok kecil atau suara mayoritas yang dapat mengabaikan hak minoritas. Shuracracy dapat menjadi statis jika terjebak dalam proses musyawarah yang tak kunjung selesai, atau termonopoli oleh kelompok elit yang mengklaim memiliki otoritas tertinggi.
3. Peran Kekuasaan dan Akuntabilitas
Salah satu aspek penting dalam perjumpaan demokrasi dan Shuracracy adalah bagaimana mengatur peran kekuasaan dan mekanisme akuntabilitas.
Demokrasi modern biasanya mengasumsikan pemisahan kekuasaan menjadi tiga cabang: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setiap cabang memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas, dan saling mengawasi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Shuracracy, di sisi lain, cenderung lebih fleksibel dalam pembagian kekuasaan.
Dalam sistem ini, peran pemimpin lebih mengarah pada fasilitasi dan mediasi dalam proses pengambilan keputusan, bukan otoritas absolut. Akuntabilitas dalam Shuracracy dicapai melalui mekanisme pengawasan dan nasihat dari masyarakat, ulama, dan para ahli.
Mencari Keseimbangan dalam Pembagian Kekuasaan
Mencari keseimbangan dalam pembagian kekuasaan dan mekanisme akuntabilitas antara demokrasi dan Shuracracy adalah tantangan kompleks.
Solusi yang ideal mungkin tidak bisa diimplementasikan secara langsung, melainkan memerlukan proses adaptasi dan pengembangan sesuai dengan konteks budaya dan sosial masing-masing negara.
Penting untuk memastikan bahwa setiap elemen sistem pemerintahan memiliki peran yang jelas dan terstruktur, serta mekanisme yang efektif untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
4. Partisipasi Publik dan Inklusivitas
Partisipasi publik dan inklusivitas merupakan nilai fundamental dalam kedua sistem, demokrasi dan Shuracracy.
Dalam demokrasi, partisipasi publik diwujudkan melalui hak untuk memilih, berpendapat, dan berorganisasi.
Di Shuracracy, partisipasi publik diwujudkan melalui proses musyawarah dan pertimbangan masukan dari seluruh lapisan masyarakat.
Menjamin Kehadiran Suara Semua Pihak
Menjamin partisipasi publik dan inklusivitas dalam sistem perjumpaan demokrasi dan Shuracracy adalah hal yang krusial.
Sistem pemilihan yang adil dan transparan, akses informasi yang terbuka, serta perlindungan hak asasi manusia adalah penting untuk memastikan bahwa semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan aspirasi dan memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan.
Revitalisasi dan pengembangan mekanisme musyawarah di tingkat masyarakat, yang melibatkan beragam latar belakang dan profesi, dapat memperkuat inklusivitas dalam proses pengambilan keputusan.
5. Tanggung Jawab dan Keadilan dalam Pengambilan Keputusan
Demokrasi dan Shuracracy sama-sama menekankan pada tanggung jawab dan keadilan dalam pengambilan keputusan.
Dalam demokrasi, tanggung jawab pemimpin berada di tangan rakyat, yang dapat memilih atau mengganti pemimpin melalui mekanisme pemilu.
Dalam Shuracracy, tanggung jawab pemimpin adalah untuk mempertimbangkan kepentingan umum dan mencari keputusan yang adil dan ma’ruf (bermoral dan bermanfaat).
Mencari Kesepakatan yang Adil dan Benar
Cara implementasi tanggung jawab dan keadilan dalam pengambilan keputusan dapat berbeda.
Demokrasi modern seringkali menggunakan mekanisme hukum dan penegakan hukum untuk memastikan keadilan.
Shuracracy, di sisi lain, lebih menekankan pada prinsip-prinsip moral dan agama dalam menentukan apa yang dianggap adil dan benar.
Kombinasi keduanya dapat menciptakan sistem yang lebih kuat dalam menegakkan keadilan dan memastikan bahwa semua pihak merasa dihargai dan dirangkul dalam proses pengambilan keputusan.
6. Adaptasi dan Evolusi dalam Konteks Global Shuracracy
Demokrasi dan Shuracracy tidak bersifat statis, mereka terus berevolusi dan beradaptasi dengan perubahan zaman dan konteks sosial.
Dalam dunia globalisasi saat ini, kedua sistem ini menghadapi tantangan baru, seperti terorisme, perubahan iklim, dan kesenjangan ekonomi.
Tantangan ini memerlukan kolaborasi dan dialog antar budaya untuk menemukan solusi yang efektif dan berkelanjutan.
Perpaduan untuk Tantangan Masa Depan
Perjumpaan demokrasi dan Shuracracy menawarkan peluang untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Dengan mengapresiasi nilai-nilai fundamental dari kedua sistem dan mengembangkan mekanisme yang mampu memenuhi tantangan masa depan, kita dapat menciptakan sistem pemerintahan yang lebih baik untuk semua.
Baca juga Artikel ; Harga Bikin Kaget, Begini Wujud MPV Listrik BYD M6 yang Dijual Rp 379 Juta